Managing Direktur PT Kolaka Mining Internasional (KMI), Atto Sakmiwata Sampetoding akhirnya dinyatakan bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kendari pada siding yang digelar mulai pukul 13.30 Wita, setelah sebelumnya dijadwalkan Jumat(30/8/2013) pagi.
Majelis hakim yang diketuai Effendi Pasaribu didampingi dua hakim anggota, masing-masing Syamsul Bahri serta Koesdarwanto membacakan keputusan dengan lantang. Sementara terdakwa Atto didampingi tim kuasa hukum yang diketuai Bahtiar Sitanggang tampak tenang dan menyimak setiap kalimat yang dibacakan oleh majelis hakim.
Pukul 13.30 Wita, sidang yang sudah ditunggu-tunggu puluhan hadirin yang sebagian besar kolega dan keluarga Atto pun dimulai. Diantara kolega yang hadir tampak Prof Mahmud Hamundu (mantan Rektor Universitas Haluoleo) dan Prof Jafar Sege dari Universitas Hasanuddin Makassar.
Menurut Kapolres Kendari AKBP Anjar Wicaksana jalannya sidang diamankan 96 personil kepolisian. “Kita turunkan 96 personil aparat,” kata Anjar ketika dihubungi KendariNews.com.
Jaksa menuntut Atto delapan tahun penjara karena dinilai bersalah bersama-sama Bupati Kolaka non aktif Buhari Matta melakukan tindak pidana korupsi penjualan sisa nikel kadar rendah yang merugikan negara Rp 20 miliar 693 juta 529 ribu. Bupati Kolaka Buhari Matta melakukan perjanjian jual beli dengan PT Kolaka Mining International yang diwakili Managing Direktur Atto Sakmiwata Sampetoding, pada 28 Juni 2010.
Seperti diperkirakan banyak pengamat hokum bahwa Atto tidak bersalah dalam perkara ini. Berikut pendapat para hokum tersebut.
PENDAPAT PENGAMAT SEBELUM VONIS:
1. Dr. Hamid Awaluddin, SH (Mantan Menteri Hukum dan HAM RI): Ada dua kelemahan jaksa dalam penuntutan terhadap Atto. Pertama, tuntutan jaksa berdasarkan pada hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Padahal BPKP tidak punya dasar hukum karena idak berwenang mengaudit lembaga swasta. BPKP hanya berwenang mengaudit pemerintah, itupun hanya pada dana APBD. Kedua, adalah tudingan bahwa ada konspirasi antara Atto dengan Pemda Kolaka karena membuat perusahaan yang didirikan untuk menangani pengelolaan dan pemanfaatan nikel kadar rendah justru sesuatu yang bagus dalam memenuhi undang-undang PT, dan bagus bagi negara karena perusahaan memberi kontribusi pajak.
2. Prof. Erman Rajagukguk (Pakar Hukum Universitas Indonesia) menilai jaksa lemah karena menganggap CSR dari perusahaan swasta (PT Inco) sebagai hibah yang merugikan Negara. Berdasar PP nomor 6 tahun 2006 tentang pengelolaan barang milik negara/daerah junto PP nomor 38 tahun 2008, hibah merupakan pengalihan kepemilikan barang milik pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat dan sebagainya. Nikel kadar rendah tersebut merupakan CSR PT Inco kepada masyarakat Kolaka, bukan barang milik daerah. Bahwa yang diserahkan itu bukanlah nikelnya melainkan pengelolaan dan pemanfaatannya. PT Inco tidak pernah menghibahkan nikel kadar rendah tersebut kepada Pemkab Kolaka, melainkan menyerahkan pengelolaan dan pemanfaatannya sebagai CSR kepada masyarakat dan kepedulian pada lingkungan masyarakat Kolaka melalui Bupati Kolaka yang mewakili Pemkab.
3. Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, P.Hd (Ketua Umum Ikatan Sarjana Hukum Indonesia). Menyatakan ada tiga hal yang harus diperhatikan.
a. Hakim harus memahami dahulu tentang tatakelola minerba berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku. Di sini, harus pahami betul apa yang dimaksud milik negara. Dalam konteks ini ada pemerintah pusat dan ada pemerintah daerah. Di sini PT Inco menyerahkan pengelolaan dan pemanfaatan nikel kadar rendah sebagai CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggungjawab sosial perusahaan kepada pemerintah Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Tetapi kita tahu bahwa pemerintah kabupaten tidak mempunyai keahlian untuk mengelola sendiri nikel kadar rendah tersebut, sehingga menyerahkan kepada pihak swasta untuk dijual dengan mekanisme jual beli yang berlaku.
b. Kalau misalnya hakim dalam memutuskan perkara ini sebagai tindak pidana, maka dikuatirkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya outsorsing yang dilakukan oleh Pemkab karena Pemkab tidak punya keahlian di bidang itu, maka itu bisa-bisa kena semua pada bidang usaha yang lain. Ini baru satu contoh. Pada kasus ini, intinya adalah pihak swasta memberikan CSR kepada Pemkab dalam bentuk pengelolaan dan pemanfaatan nikel kadar rendah, tetapi Pemkab tidak bisa melakukan apa-apa, maka dicarilah pengusaha untuk mengelolahnya. Kalau kemudian hal semacam itu dikriminalkan maka akan mematikan pengusaha karena pengusaha sudah tidak mau lagi berususan dengan pemerintah untuk hal-hal semacam itu sehingga pada gilirannya akan merepotkan pemerintah daerah dalam memberikan kesejahteraan rakyatnya.
c. Jangan masalah kontraktual/perjanjian jual beli yang masuk rana perdata lalu jaksa membawa ke rana pidana. Jadi kalau masalah perdata, selesaikan secara perdata. Sehingga yang harus dipertimbangkan oleh hakim, bahwa apakah masalah ini perdata atau bukan. Kalau perdata jangan ditarik-tarik ke rana pidana. Sebab kalau itu terjadi maka yang muncul adalah kriminalisasi, dan ini tidak bagus. (masud/fri)
Pukul 13.30 Wita, sidang yang sudah ditunggu-tunggu puluhan hadirin yang sebagian besar kolega dan keluarga Atto pun dimulai. Diantara kolega yang hadir tampak Prof Mahmud Hamundu (mantan Rektor Universitas Haluoleo) dan Prof Jafar Sege dari Universitas Hasanuddin Makassar.
Menurut Kapolres Kendari AKBP Anjar Wicaksana jalannya sidang diamankan 96 personil kepolisian. “Kita turunkan 96 personil aparat,” kata Anjar ketika dihubungi KendariNews.com.
Jaksa menuntut Atto delapan tahun penjara karena dinilai bersalah bersama-sama Bupati Kolaka non aktif Buhari Matta melakukan tindak pidana korupsi penjualan sisa nikel kadar rendah yang merugikan negara Rp 20 miliar 693 juta 529 ribu. Bupati Kolaka Buhari Matta melakukan perjanjian jual beli dengan PT Kolaka Mining International yang diwakili Managing Direktur Atto Sakmiwata Sampetoding, pada 28 Juni 2010.
Seperti diperkirakan banyak pengamat hokum bahwa Atto tidak bersalah dalam perkara ini. Berikut pendapat para hokum tersebut.
PENDAPAT PENGAMAT SEBELUM VONIS:
1. Dr. Hamid Awaluddin, SH (Mantan Menteri Hukum dan HAM RI): Ada dua kelemahan jaksa dalam penuntutan terhadap Atto. Pertama, tuntutan jaksa berdasarkan pada hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Padahal BPKP tidak punya dasar hukum karena idak berwenang mengaudit lembaga swasta. BPKP hanya berwenang mengaudit pemerintah, itupun hanya pada dana APBD. Kedua, adalah tudingan bahwa ada konspirasi antara Atto dengan Pemda Kolaka karena membuat perusahaan yang didirikan untuk menangani pengelolaan dan pemanfaatan nikel kadar rendah justru sesuatu yang bagus dalam memenuhi undang-undang PT, dan bagus bagi negara karena perusahaan memberi kontribusi pajak.
2. Prof. Erman Rajagukguk (Pakar Hukum Universitas Indonesia) menilai jaksa lemah karena menganggap CSR dari perusahaan swasta (PT Inco) sebagai hibah yang merugikan Negara. Berdasar PP nomor 6 tahun 2006 tentang pengelolaan barang milik negara/daerah junto PP nomor 38 tahun 2008, hibah merupakan pengalihan kepemilikan barang milik pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat dan sebagainya. Nikel kadar rendah tersebut merupakan CSR PT Inco kepada masyarakat Kolaka, bukan barang milik daerah. Bahwa yang diserahkan itu bukanlah nikelnya melainkan pengelolaan dan pemanfaatannya. PT Inco tidak pernah menghibahkan nikel kadar rendah tersebut kepada Pemkab Kolaka, melainkan menyerahkan pengelolaan dan pemanfaatannya sebagai CSR kepada masyarakat dan kepedulian pada lingkungan masyarakat Kolaka melalui Bupati Kolaka yang mewakili Pemkab.
3. Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, P.Hd (Ketua Umum Ikatan Sarjana Hukum Indonesia). Menyatakan ada tiga hal yang harus diperhatikan.
a. Hakim harus memahami dahulu tentang tatakelola minerba berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku. Di sini, harus pahami betul apa yang dimaksud milik negara. Dalam konteks ini ada pemerintah pusat dan ada pemerintah daerah. Di sini PT Inco menyerahkan pengelolaan dan pemanfaatan nikel kadar rendah sebagai CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggungjawab sosial perusahaan kepada pemerintah Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Tetapi kita tahu bahwa pemerintah kabupaten tidak mempunyai keahlian untuk mengelola sendiri nikel kadar rendah tersebut, sehingga menyerahkan kepada pihak swasta untuk dijual dengan mekanisme jual beli yang berlaku.
b. Kalau misalnya hakim dalam memutuskan perkara ini sebagai tindak pidana, maka dikuatirkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya outsorsing yang dilakukan oleh Pemkab karena Pemkab tidak punya keahlian di bidang itu, maka itu bisa-bisa kena semua pada bidang usaha yang lain. Ini baru satu contoh. Pada kasus ini, intinya adalah pihak swasta memberikan CSR kepada Pemkab dalam bentuk pengelolaan dan pemanfaatan nikel kadar rendah, tetapi Pemkab tidak bisa melakukan apa-apa, maka dicarilah pengusaha untuk mengelolahnya. Kalau kemudian hal semacam itu dikriminalkan maka akan mematikan pengusaha karena pengusaha sudah tidak mau lagi berususan dengan pemerintah untuk hal-hal semacam itu sehingga pada gilirannya akan merepotkan pemerintah daerah dalam memberikan kesejahteraan rakyatnya.
c. Jangan masalah kontraktual/perjanjian jual beli yang masuk rana perdata lalu jaksa membawa ke rana pidana. Jadi kalau masalah perdata, selesaikan secara perdata. Sehingga yang harus dipertimbangkan oleh hakim, bahwa apakah masalah ini perdata atau bukan. Kalau perdata jangan ditarik-tarik ke rana pidana. Sebab kalau itu terjadi maka yang muncul adalah kriminalisasi, dan ini tidak bagus. (masud/fri)
0 komentar:
Post a Comment
Komentar Anda..!!